Rabu, 26 Oktober 2011

Penggunaan Bahasa Indonesia pada tataran semi Ilmiah.

Pemanfaatan Bahasa Indonesia Pada Tataran Semi Ilmiah
Posted by RENRHU at 21:17
Wacana dalam semi ilmiah merupakan suatu penulisan yang tidak terikat Bahasa Indonesia baku lisan, sehingga kemungkinan besar terjadinya penghilangan kalimat. Namun hal ini tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat mempengaruhi dalam memahami makna gagasan.
contoh : artikel, editorial, opini, feuture, reportase.

contoh reportase :
Reportase Berita Ekonomi
PASAR TRADISONAL VS PASAR MODERN
Liputan.com, Jakarta : Seratusan pedagang pasar tradisional Ciledug berunjuk rasa menolak keberadaan Carrefour di kawasan pasar tradisional Ciledug, Kabupaten Tangerang, Banten.
Alasannya, keberadaan Carrefour akan mematikan omset mereka. Para pedagang menuding pemerintah daerah setempat telah mengkhianati pedagang tradisional dengan menerbitkan surat izin pengoperasian Carrefour Ciledug. Menurut para pedagang, jarak pasar tradisional dengan Carrefour kurang dari 20 meter, sehingga mengancam omset pedagang. Unjuk rasa ratusan pedagang tradisional pasar Ciledug ini mendapat pengamanan ketat dari aparat kepolisian dan Satuan Keamanan Central Bisnis Dagang Ciledug. Akibat aksi ini lalu lintas di Jalan Hos Cokroaminoto Ciledug sempat macet total (Jum/Tim Liputan 6 SCTV).

Penggunaan Bahasa Indonesia pada tataran Non Ilmiah.

Bahasa Indonesia Pada Tataran Non Ilmiah (Fiksi)
Non Ilmiah (Fiksi) adalah Satu ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh dibuat sembarangan, unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik, klimaks, setting dsb.


Pengertian, Ciri, dan Bentuk Karangan Nonilmiah
Karangan non ilmiah adalah karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri karangan nonilmiah:
1. . Ditulis berdasarkan fakta pribadi,
2. . Fakta yang disimpulkan subyektif,
3. . Gaya bahasa konotatif dan populer,
4. Tidak memuat hipotesis,
5. Penyajian dibarengi dengan sejarah,
6. Bersifat imajinatif,
7. Situasi didramatisir, dan
8. Bersifat persuasif.
Contoh Karangan Nonilmiah
Dongeng, cerpen, novel, drama, dan roman adalah contoh karangan nonilmiah. Berikut ini adalah contoh karya non ilmiah sebuah cerpen yang saya kutip dari sebuah buku Mahir Berbahasa Indonesia :
Pencuri
Ia berjalan dengan langkah yang ringan tanpa tergesa-gesa, tanpa mengendap-endap. Daerah pinggiran seperti ini, memang tidak terlampau padat dengan rumah. Di sana sini masih rimbun rumpun pisang, lalu tanah yang kosong, semak-semak belukar, tanaman lantana, dan putri malu. Langit cerah dan matanya yang tua masih cukup awas. Ia terus melangkah tenang melewati jalan tikus yang terbentuk oleh rumput yang mati terinjak. Tiba-tiba dari balik semak-semak muncul seseorang sambil mengancing celana.
“Selamat malam,” sapanya. Orang itu terkejut, lalu tanpa menjawab apa-apa membalikkan tubuh, meneruskan usahanya menarik ritsleting celananya.
“Mau kemana, Pak?” orang itu berkata sambil membalik ke arahnya.
“Ke kampung sebelah.”
“Mari, Pak,” orang itu menunduk-nunduk lalu buru-buru melanjutkan perjalanannya.”Silakan,” ujarnya sambil terus berjalan.
Sesudah berjalan cukup lama, ia tiba di dekat sebuah rumah besar. Teras depannya luas dengan lampu yang benderang dengan beberapa set kursi. Ada lukisan atau barangkali foto berbingkai, tanaman kuping gajah dalam pot, lampu gantung Kristal yang tidak menyala. Dari dalam terdengar music yang keras, hingar binger tidak keruan, yang serasa tidak sesuai dengan suasana pedesaan yang masih kental di derah itu. Di samping rumah tampak ada mobil jenis minibus.
Ia berhanti sejenak. Meneliti daerah sekitar rumah, kemudian dengan langkah yang pasti ia berjalan menuju ke sebatang pohon beringin besar yang tumbuh di sebelah utara rumah yang menghadap ke timur itu. Ia memanjat pohon beringin itu dengan mudah, lewat daya ingat yang sudah terlatih. Dan tanpa kesulitan apa-apa, ia menemukan batang yang cukup lebar merentang sejajar dengan tanah dan dengan hati-hati ia mendudukkan dirinya sambil menyandar ke batang utama.
Dari situ dengan bebas ia bisa memperhatikan bagian belakang rumah itu. Ada keinginan yang kuat untuk merokok apalagi dengan nyamuk yang mengiang-ngiang di kupingnya. Seluruh tubuh sudah dilulurinya dengan salep anti nyamuk. Tetapi yang membuat ia merasa gembira adalah bahwa ia masih memiliki kemantapan perasaan yang sama, seperti ketika ia masih sepenuhnya mengerjakan kegiatan ini sebagai pekerjaan tetap.
Sesudah beberapa saat, ia mengeluarkan cangklongnya, lalu menyulutnya. Dalam keadaan seperti ini, ia selalu siap dengan cangklongnya yang memakai penutup, yang konon dipergunakan orang ketika berada di medan pertempuran. Cangklong itu diambilnya di rumah seorang asing ketika ia melakukan tugasnya di sana.
Ia tahu betul isi rumah yang sedang diawasinya ini; dihuni seorang janda dengan seorang anak perempuan yang sudah amat siap untuk menikah, tiga pelayan dan seorang sopir tua. Di samping itu, ada empat orang pegawai yang tinggal di luar. Janda yang terhitung paling kaya di daerah itu, hidup dari penyewaan kendaraan umum, yang selalu menerima setoran setiap sore dan menyetor lagi uangnya ke sebuah bank di kota. Ia sendiri sudah memperhitungkan berapa besar uang yang bisa dikumpulkan janda itu setiap menjelang malam hari penyewa-penyewa mobilnya yang mencapai dua puluh buah itu. Sedang si Anak gadis, sesudah menyelesaikan pendidikan di sebuah akademi pariwisata di kota, kini membuka sebuah warung serba ada yang menempel di bagian selatan rumah itu.
Lalu sebuah mobil muncul. Pasti berhenti di depan rumahnya, yang terhalan untuk bisa ia lihat. Ia tidak tahu siapa yang datang. Beberapa menit kemudian, terdengar lagu dikecilkan. Pasti yang punya rumah datang, ia memperkirakan.
Dari kejauhan, terdengar kentongan, baru pukul sebelas.
Ia memang mempunyai kebiasaan untuk menuggu di dekat sasarannya beberapa jam lamanya. Selain itu, cukup mempunyai banyak waktu untuk mempertimbangkan perasaannya, ia juga bisa memantau keadaan sasarannya dengan cukup mantap. Bukan sekali dua ia harus membatalkan usahanya, bilaman sesudah beberapa jam perasaan was-was tidak juga hilang.
Lalu ia mendengar bunyi mobil dihidupkan, kemudian tampak sorotan lampu mendahului mobil itu langsung menuju ke arah jalan besar. Lalu menghilang.
Lalu cahaya yang nampak di bagian depan rumah menghilang, pasti lampu dimatikan. Dan seperti yang sudah diharapkan, tak lama kemudian beberapa orang tampak berjalan di samping rumah. Para penjaga keamanan yang melakukan tugas mereka sebagai sebuah rutinitas, mulai dari waktu meronda keliling, langkah, dan bahkan harus membatuk.
Ia merasa ada yang bergerak di kakinya. Seerkor semut. Buru-buru ia menarik kakinya ke dekat tubuhnya, lalu mematikan semut itu dengan memencet bagian celana di mana semut itu berada. Kemudian kakinya kembali ia julurkan.
Beberapa bulan yang lalu, anaknya yang jadi insiyur datang menjemputnya di desa asalnya, lalu membawanya ke desa ini, di mana anaknya telah membangun sebuah rumah kecil dengan sebuah warung serba ada untuknya. Di kampungnya yang lama, ia juga mempunyai sebuah warung. Kendati cukup banyak yang membeli di situ, ia tidak mengharapkan apa-apa dari warung itu. Kerja sebagai pencuri jauh lebih sesuai dengan dirinya. Ia bisa menghargai dirinya sebagai pencuri.
Lampu dari lubang angin dan jendela kamar yang menghadap ke arahnya sudah padam entah kapan. Ia sedang sibuk membayangkan bagaimana pertama kali ia memutuskan untuk menjadi seorang pencuri sejak anaknya yang menjadi insiyur lahir. Ia menjadi pencuri karena kakeknya seorang pencuri dengan ilmu yang tinggi, yang diturunkan kepadanya tanpa sepengetahuan ayah maupun ibunya. Ia tersenyum mengungat bagaimana ia mencuri tabungan kakeknya ketika ia masih bersekolah di sebuah sekoalahn rakyat.
Istrinya sendiri sudah meninggal lima tahun yang lalu. Sesudah dalam keadaan sekarat memintanya untuk tidak mencuri lagi demi anaknya yang ketika ia sudah menjadi mahasiswa di Bandung sana. Ia ingat bahwa ketika itu ia sama sekali tidak bisa menjanjikan apa-apa, yang membuat istrinya meninggal dalam keadaan kecewa. Lalu ia mendengar orang batuk-batuk. Para penjaga keamanan yang datang dari arah mereka tadi pergi. Ia menarik kakinya yang kiri hingga lutunya dekat ketubuhnya, dan mulai memijat-mijat betisnya. Sesudah itu kakinya yang kanan ditariknya. Segenggam pasir yang dimasukkan ke dalam sebuah kantong celananya ia periksa. Dari kantong celana yang satunya lagi, ia mengeluarkan seutas pita merah, yang ia lilitkan ke kepalanya. Saat untuk beraksi sudah tiba.
Pagi itu untuk pertama kalinya semenjak ia pindah ke desa ini, ia tidak membuka warungnya. Ia tidur sampai ketika ada yang menggedor pintu depannya. Lalu ketika ia membuka pintu, anaknya menerobos masuk. Ia mengunci kembali pintu. Tampak kalau anaknya sedang marah.
“Ayah melakukan perbuatan terkutuk itu lagi?”
“Hei, apa yang kamu bilang?”
“Ayah semalam menggerayangi rumah ibu Rohmah, bukan?”
Keyakinan anaknya membuat ia tidak menyangkal. “Dari mana kau tahu itu rumah ibu Rohmah?”
“Itu calon mertua saya,” ujar anaknya.
“Oo. Jadi kau yang semalam datang mengantar calon istrimu itu, ya?”
Anaknya cuma menatapnya tajam, lalu wajahnya menjadi kuyu.
“Kenapa, Ayah?” Kenapa Ayah harus lakukan ini, dan terhadap calon keluarga kita sendiri?”
“Duduk.” Ujarnya tenang, tetapi dengan gaya memerintah. Anaknya menarik kursi meja makan lalu duduk. Ia lalu mengambil gelas, menungkan air dari ceret lalu meneguknya.
“Sebaiknya kau tidak bicara seperti orang main drama. Saya tidak menolak tuduhanmu, dan itu sudah cukup. Dengar dulu … saya masih bicara! Saya tidak mengenal mereka, dan tidak tahu kalau punya hubungan dengan kau. Kalau saya mencuri, itu karena ada dorongan yang selalu memakasa saya untuk terus melakukan hal itu. Saya …”
Sebuah ketokan di pintu membuat ia menghentikan omongannya. Ia langsung membuka pintu. Seorang anak kecil dengan wajah takut san waswas berdiri di depannya.
“Warung Bapak tutup, ya?”
“Ya, saya agak kurang enak badan. Ada yang perlu?”
“Ibu menyuruh saya …”
“Sini, masuk” Ia membimbing anak itu masuk. “Namamua Ari, bukan?” Lalu dengan agak mendorong ia membawa anak itu menuju pintu samping rumah yang membuka ke warungnya. “ Ambil sendiri yang di perlukan ibumu,” ujarnya ramah.
“Adik yang masih bayi perlu susu …”
“Masuklah,” ia mendorong anak itu, tetapi tampaknya anak itu menolak.
Anak itu memandangnya ragu-ragu. “Kata ibu, utang yang lalu …”
“Masuklah dan ambil sendiri.” Jangan takut, Nak.”
Anak itu masuk, mengambil beras beberapa liter, gula, dan kopi serta susu kaleng untuk bayi. Ia sendiri berjalan ke belakang menuju kamar kecil.
Ketika ia berbalik, anak itu sedang berdiri di depan pintu menunggunya.
“Sudah?”
“Sudah, Pak. Saya sudah catat di buku utang. Terima kasaih …”
Ia membukakan pintu lalu menguncinya.
“Kau tidak usah tanya kenapa saya harus mencuri. Warung ini nyaris tidak memberikan penghasilan apa-apa. Kau lihat anak kecil tadi, dan hampir besar desa ini tergantung dari utang yang saya kasih. Utang yang semakin lama semakin bertumpuk.”
“Ayah tidak bisa kasih hati seperti itu pada orang-orang ini.”
“Caranya? Dengan mengusir mereka pulang dengan tangan kosong dan perut yang kelaparan? Atau menyeret mereka ke pengadilan? Mungkin kau benar, tetapi saya Cuma tidak mampu melakukannya.”
“Bagaimana kalau Ayah tertangkap polisi?”
“Itu risiko. Tetapi kau harus tahu, saya menghargai ini sebagai pekerjaan yang harus professional dan sempurna. Mereka membutuhkan keahlian yang tinggi untuk bisa melacak saya.”
“Bisa hancur hidup saya kalau orang-orang tahu Ayah mencuri di rumah itu.”
“Saya masih terlalu mengantuk, Tri. Sebaiknya kau beri kesempatan saya beristirahat dulu.”
“Ayah kelihatannya tidak mempedulikan kepentngan saya, tidak peduli nasib saya.”
“Lalu bagaimana kau bisa menjadi insiyur? Dan apa kaupikir biaya yang setiap bula saya kirim dan bisa membuat hidup kau di Bandung tidak berkekurangan itu hasil dari warung ibumu? Camkan, Nak. Itu semua hasil kerja yang kau sebut tadi perbuatan terkutuk.”
Anaknya terpana.
“Dari mana kau tahu kalau saya yang mencuri semalam di rumah setan blau itu?”
“Ibu pernah bercerita, kalau Ayah mencuri di mana-mana, ada kebiasaan Ayah untuk membuka lemari makan mereka dan melahap apa yang ada dan membiarkan piring kotor dengan sedikit sisa makanan di atas meja.”
Ia tersenyum. Lalu berkembang menjadi tawa lepas. Ada rasa bangga yang ia perlihatkan ketika mengatakan, “Orang yang besar selalu harus membiarkan dirinya punya kebiasaan yang unik.”
Anaknya yang insiyur itu bangun. “Begini, Ayah. Saya tidak mampu menghalangi kenyataan ini. Saya ingin sekarang juga Ayah pilih, tetap melakukan pencurian dan kita tidak saling kenal lagi atau Ayah berhenti mencuri.”
“Itu dua hal yang tidak bisa dijadikan pilihan. Sungguh tidak sebanding, karena kedunya sesuatu yang amat prinsipil dalam hidup sya. Tetapi kalau kau memaksa, saya dengan ikhlas memilih yang pertama. Toh, kau sudah hidup mandiri.” Ia menatap anaknya tegas. Dan sesudah beberapa jenak kemudian ia berkata lagi, “Nah, saya benar-benar sangat mengantuk dan tak mampu membendungnya lagi.”
Ia berjalan menuju ke pintu lalu membukanya.
Anaknya bangun, lalu dengan lesu berjalan menuju ke pintu. Ketika anaknya lewat di depannya ia berkata, “Ini ada sebuah pertanyaan yang tak perlu kau jawab. Apakah masih ada orang di negeri ini yang tidak mencuri?”

Penggunaan Bahasa Indonesia pada tataran Ilmiah.

Membedakan Pemanfaatan Bahasa Indonesia Pada Tataran Ilmiah
Pengertian karangan ilmiah
Karangan ilmiah ialah karya tulis yang memaparkan pendapat, gagasan, tanggapan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan kegiatan keilmuan.
Jenis karangan ilmiah banyak sekali, diantaranya makalah, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian. Kalaupun jenisnya berbeda-beda, tetapi keempat-empatnya bertolak dari laporan, kemudian diberi komentar dan saran. Perbedaannya hanyalah dalam kekomplekskannya.
Ciri-ciri karangan ilmiah
Karangan ilmiah mempunyai beberapa ciri, antara lain:
1. Jelas. Artinya semua yang dikemukakan tidak samar-samar, pengungkapan maksudnya tepat dan jernih.
2. Logis. Artinya keterangan yang dikemukakan masuk akal.
3. Lugas. Artinya pembicaraan langsung pada hal yang pokok.
4. Objektif. Artinya semua keterangan benar-benar aktual, apa adanya.
5. Seksama. Artinya berusaha untuk menghindari diri dari kesalahan atau kehilafan betapapun kecilnya.
6. Sistematis. Artinya semua yang dikemukakan disusun menurut urutan yang memperlihatkan kesinambungan.
7. Tuntas. Artinya segi masalah dikupas secara mendalam dan selengkap-lengkapnya.
Ragam ilmiah
Bahasa ragam ilmiah merupakan ragam bahasa berdasarkan pengelompokkan menurut jenis pemakaiannya dalam bidang kegiatan sesuai dengan sifat keilmuannya. Bahasa Indonesia harus memenuhi syarat diantaranya benar (sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku), logis, cermat dan sistematis.
Pada bahasa ragam ilmiah, bahasa bentuk luas dan ide yang disampaikan melalui bahasa itu sebagai bentuk dalam, tidak dapat dipisahkan. Hal ini terlihat pada ciri bahasa ilmu, seperti berikut ini.
1. Baku. Struktur bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku, baik mengenai struktur kalimat maupun kata. Demikian juga, pemilihan kata istilah dan penulisan yang sesuai dengan kaidah ejaan.
2. Logis. Ide atau pesan yang disampaikan melalui bahasa Indonesia ragam ilmiah dapat diterima akal. Contoh: “Masalah pengembangan dakwah kita tingkatkan.”Ide kalimat di atas tidak logis. Pilihan kata “masalah’, kurang tepat. Pengembangan dakwah mempunyai masalah kendala. Tidak logis apabila masalahnya kita tingkatkan. Kalimat di atas seharusnya “Pengembangan dakwah kita tingkatkan.”
3. Kuantitatif. Keterangan yang dikemukakan pada kalimat dapat diukur secara pasti. Perhatikan contoh di bawah ini:Da’i di Gunung Kidul “kebanyakan” lulusan perguruan tinggi. Arti kata kebanyakan relatif, mungkin bisa 5, 6 atau 10 orang. Jadi, dalam tulisan ilmiah tidak benar memilih kata “kebanyakan” kalimat di atas dapat kita benahi menjadi Da’i di Gunung Kidul 5 orang lulusan perguruan tinggi, dan yang 3 orang lagi dari lulusan pesantren.
4. Tepat. Ide yang diungkapkan harus sesuai dengan ide yang dimaksudkan oleh pemutus atau penulis dan tidak mengandung makna ganda. Contoh: “Jamban pesantren yang sudah rusak itu sedang diperbaiki.”Kalimat tersebut, mempunyai makna ganda, yang rusaknya itu mungkin jamban, atau mungkin juga pesantren.
5. Denotatif yang berlawanan dengan konotatif. Kata yang digunakan atau dipilih sesuai dengan arti sesungguhnya dan tidak diperhatikan perasaan karena sifat ilmu yang objektif.
6. Runtun. Ide diungkapkan secara teratur sesuai dengan urutan dan tingkatannya, baik dalam kalimat maupun dalam alinea atau paragraf adalah seperangkat kalimat yang mengemban satu ide atau satu pokok bahasan.
Dalam karangan ilmiah, bahasa ragam merupakan ragam bahasa berdasarkan pengelompokan menurut jenis pemakaiannya dalam bidang kegiatan. Sesuai dengan sifat keilmuannya, bahasa Indonesia harus memenuhi syarat diantaranya benar (sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia), logis, cermat dan sistematis. Karangan ilmiah mempunyai beberapa ciri, diantaranya: jelas, logis, lugas, objektif, seksama, sistematis dan tuntas.
Contohnya :
Pasal Bermata Dua
Sering kali warga masyarakat menyelesaikan kasus dugaan penyantetan dengan melakukan sumpah pocong. Soalnya, polisi tidak bisa menanganinya karena dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak diatur. Yang ada baru sebatas rancangan. Dalam Pasal 255 Rancangan Undang-undang tenatng KUHP dinyatakan, “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderiataan mental atau fisik seseorang dipidana penjara paling lama lima tahun”.
Antropolog dari Universitas Negeri Jember, Kusnadi, mengakui sumpah pocong efektif menangani kasus santen di tlatah Jember dan sekitarnya. Ini merupakan suatu mekanisme cultural masyarakat dalam bentuk pembuktian terbalik. Katanya, “Cara ini bisa diterima dan diyakini memiliki kebenaran dan nilai keadilan karena dipimpin oleh seorang tokoh yang alim dan langsung bersumpah di hadapan public dan Tuhan”.
Selama ini memang belum ada dukun santet yang bisa diseret ke pengadilan. Orang yang dituduh sebagai penyantet selalu diadili langsung oleh massa dengan cara keji, seperti yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998 silam. Saat itu tak kurang dari 170 orang yang dituduh sebagai dukun santet mati dibantai oleh warga. Peristiwa serupa juga meletup di Ciamis, Jawa Barat, pada tahun 1999, dengan jumlah korban yang lebih besar, sekitar 200 orang tewas dihakimi warga.
Kusnadi kurang setuju soal santet dimasukkan dalam KUHP karena akan tetap sulit pembuktiannya. Ini juga bisa menjadi pisau bermata dua. Mungkin pasal ini bisa mengurangi praktik santet, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh orang untuk mencelakakan atau menjebak orang lain lewat tuduhan palsu.
Hakim Agung, Benjamin Mangkoedilaga memperkirakan, pasal ini tidak akan efektif. Persoalannya, orang yang melakukan praktik itu dan menyewanya dipastikan tidak akan mengaku. Selan itu, “Bagaimana orang bisa yakin bahwa perbuatan santet itu yang menyebabkan kematian seseorang? Bisa saja karena sebab lain”. Ia menyarankan agar hal yang sulit diukur dan diselidiki sebab-akibatnya seperti santet tidak perlu diatur dalm KUHP.

Kamis, 06 Oktober 2011

Contoh Menggunakan bahasa indonesia yang baik

1.Contoh menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar

Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Bahasa yang diucapkan bahasa yang baku.
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.
Misalkan dalam pertanyaan sehari-hari dengan menggunakan bahasa yang baku Contoh :
• Apakah kamu ingin menyapu rumah bagian belakang ?
• Apa yang kamu lakukan tadi?
• Misalkan ketika dalam dialog antara seorang Guru dengan seorang siswa
• Pak guru : Rino apakah kamu sudah mengerjakan PR?
• Rino : sudah saya kerjakan pak.
• Pak guru : baiklah kalau begitu, segera dikumpulkan.
• Rino : Terima kasih Pak

Kata yang digunakan sesuai lingkungan sosial
Contoh lain dari pada Undang-undang dasar antara lain :
Undang-undang dasar 1945 pembukaan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkeadilan.
Dari beberapa kalimat dalam undang-undang tersebut menunjukkan bahasa yang sangat baku, dan merupakan pemakaian bahasa secara baik dan benar.
Contoh lain dalam tawar-menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar -menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku seperti ini.

(1) Berapakah Ibu mau menjual tauge ini?
(2) Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah Abang dan berapa ongkosnya?

Contoh di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang baku dan benar, tetapi tidak baik dan tidak efektif karena tidak cocok dengan situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Untuk situasi seperti di atas, kalimat (3) dan (4) berikut akan lebih tepat.
(3) Berapa nih, Bu, tauge nya?
(4) Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?
Misalkan perbedaan dari bahasa indonesia yang benar dengan bahasa gaul
Bahasa Indonesia Bahasa Gaul (informal)
Aku, Saya Gue
Kamu Elo
Di masa depan kapan-kapan
Apakah benar? Emangnya bener?
Tidak Gak
Tidak Peduli Emang gue pikirin!
Dari contoh diatas perbedaan antara bahasa yang baku dan non baku dapat terlihat dari pengucapan dan dari tata cara penulisannya. Bahasa indonesia baik dan benar merupakan bahasa yang mudah dipahami, bentuk bahasa baku yang sah agar secara luas masyarakat indonesia berkomunikasi menggunakan bahasa nasional. Contoh pada
“Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, demikianlah bunyi alenia ketiga sumpah pemuda yang telah dirumuskan oleh para pemuda yang kemudian menjadi pendiri bangsa dan negara Indonesia. Bunyi alenia ketiga dalam ikrar sumpah pemuda itu jelas bahwa yang menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Kita sebagai bagian bangsa Indonesia sudah selayaknya menjunjung tinggi bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Paragraph dibawah ini cuplikan gaya bahasa yang dipakai sesuai dengan EYD dan menggunakan bahasa baku atau bahasa ilmiah bukan kata popular dan bersifa objektif, dengan penyusunan kalimat yang cermat.
Dalam paradigma profesionalisme sekarang ini, ada tidaknya nilai informative dalam jaring komunikasi ternyata berbanding lurus dengan cakap tidaknya kita menulis. Pasalnya, selain harus bisa menerima, kita juga harus mampu memberi. Inilah efek jurnalisme yang kini sudah menyesaki hidup kita. Oleh karena itu, kita pun dituntut dalam hal tulis-menulis demi penyebaran informasi. Namun persoalannya, apakah kita peduli terhadap laras tulis bahasa kita. Sementara itu, yakinilah, tabiat dan tutur kata seseorang menunjukkan asal-usulnya, atau dalam penegasan lain, bahasa yang kacau mencerminkan kekacauan pola pikir pemakainya. Buku ini memperkenalkan langkah-langkah pragmatic yang Anda perlukan agar tulisan Anda bisa tampil wajar, segar, dan enak dibaca.

2.Sebagai alat komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan dan pemikiran yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli atau menanggapi hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum..Dengan kata lain, kata besar atau luas,dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata makro akan memberikan nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia,
sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya,
sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan.
Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa
Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.